Nyamuk Transgenik: Harapan Baru Penanggulangan DBD
by. majalahkesehatan.com
Mei, 2, 2012
Demam berdarah dengue (DBD) adalah wabah musiman yang secara
berkala menebar ancaman di seluruh wilayah tropis di dunia, terutama di
daerah perkotaan. Sekitar 50-100 juta kasus DBD dilaporkan setiap
tahunnya di seluruh dunia. Di Indonesia pada 2010 lalu, DBD memakan
korban lebih dari 1.300 nyawa, selain menimbulkan biaya perawatan
kesehatan yang sangat besar. Hingga saat ini, tidak ada vaksin atau
pengobatan khusus untuk DBD. Perawatan medis terutama dilakukan dengan
mengelola demam dan memastikan kecukupan cairan tubuh, untuk mencegah
komplikasi mematikan. Satu-satunya cara untuk mencegah penyakit ini
adalah dengan mengontrol perkembangan nyamuk pembawa virusnya, yaitu
Aedes aegypti, melalui pembersihan lingkungan dan penerapan insektisida (fogging, bubuk larvisida).
Sebuah studi baru yang dilaporkan BBC dan diterbitkan dalam jurnal Nature Biotechnology
edisi 30 Oktober 2011 memberikan kabar gembira dalam memerangi nyamuk
Aedes aegypti. Dalam studi ini, sekelompok peneliti yang terdiri dari
para ilmuwan di bawah bendera Oxitec, lembaga penelitian yang didirikan
Universitas Oxford, melepaskan ribuan nyamuk jantan yang telah
dimodifikasi secara genetik di wilayah Kepulauan Cayman, di mana Aedes
aegypti banyak dijumpai dan menimbulkan wabah DBD.
Nyamuk-nyamuk jantan itu diharapkan akan mencari dan
mengawini betina Aedes aegypti di alam liar, bersaing dengan para
pejantan alami. Ketika nyamuk jantan transgenik kawin dengan betina
liar, keturunannya akan melalui tahap larva (jentik), tetapi mati
sebagai kepompong sebelum mencapai dewasa. Dengan berulang-ulang
melepaskan pejantan transgenik, maka populasi nyamuk pembawa virus ini
akan berkurang hingga di bawah tingkat minimum yang diperlukan untuk
mendukung penyebaran DBD. Metode ini dianggap sebagai alternatif
insektisida yang lebih aman karena nyamuk jantan tidak menggigit atau
menyebarkan penyakit, dan hanya kawin dengan betina dari spesies yang
sama.
Sejumlah sampel larva nyamuk yang dikumpulkan dari daerah
studi seluas 10 hektar itu pada empat minggu berikutnya menunjukkan
bahwa mereka membawa gen transgenik, yang berarti bahwa para pejantan
transgenik berhasil bertahan dan menemukan pasangan. Dengan demikian,
para peneliti menyimpulkan teknologi baru ini layak untuk menekan
populasi A. aegypti.
Tahap kedua studi ini diharapkan dapat melepaskan jutaan
nyamuk jantan transgenik untuk mengurangi populasi di daerah sasaran
hingga 80%. “Pendekatan ini dapat digunakan di banyak negara untuk
membantu mengendalikan nyamuk Aedes aegypti dan karenanya mencegah demam
berdarah,” kata Dr Luke Alphey, kepala peneliti.
Sejumlah kelompok lingkungan telah menyatakan keprihatinan terhadap
pendekatan rekayasa genetika ini. Misalnya, Kelompok ETC di Ottawa,
Kanada, dan EcoNexus Oxford, Inggris, yang menyatakan bahwa pelepasan
nyamuk transgenik di alam liar dapat menciptakan sebuah “ceruk kosong”
yang dapat diisi oleh nyamuk lain yang serupa, jika tidak lebih
berbahaya. Kekhawatiran lainnya adalah kemungkinan konsekuensi yang
belum dieksplorasi terhadap organisme lain di rantai atas makanan,
misalnya cicak.
“Studi ini adalah yang pertama kali menunjukkan bahwa
populasi nyamuk bisa ditekan dengan cara ini,” kata Dr Raman Velayudhan,
pakar DBD dari WHO. Menyadari bahwa rekayasa genetika merupakan
teknologi yang memiliki potensi risiko dan manfaat, WHO sedang
menyelesaikan panduan tentang bagaimana serangga transgenik harus
dilepaskan di negara-negara berkembang, yang diharapkan dapat dirilis
pada akhir tahun ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar